“apakah benar anda nona Erita?” Tanya seorang pria bertubuh tegap dengan pakaian resmi serba hitam dan kacamata hitam itu.
“iya, saya Erita. Ada apa ya?” jawab gadis berjilbab putih dan bergamis biru muda selaku yang ditanya.
“kami berdua dari Badan Intelijen Negara, bisa bicara sebentar di tempat yang lebih privasi?” kata pria yang tadi bertanya sementara temannya hanya berdiri tegap di sisi kiri belakang pria itu.
“maaf, tapi ada urusan apa ya? Lagipula ini di kampus, saya tidak tahu di mana tempat yang privasi untuk bicara.”
“nona bisa ikut kami ke mobil kami di depan kampus ini”
“ada urusan apa ya?” Erita agak khawatir. Ia bingung apakah mereka benar-benar dari BIN atau justru mereka penculik. Kalaupun mereka dari BIN, apa kesalahan Erita hingga harus berurusan dengan mereka?
“ini kartu tanda pengenal kami, kami ditugaskan oleh pemerintah untuk membawa beberapa warga terbaiknya ke tempat yang lebih aman” kata pria tadi seraya menunjukkan kartu pengenalnya
“tempat aman? Memangnya ada apa? Saya juga bukan warga terbaik.. anda salah orang, Pak”
“tidak, nona. Kami akan jelaskan nanti. Sekarang kami butuh nona untuk ikut kami atau kami tidak akan menanggung resiko apapun yang akan terjadi pada nyawa nona setelah kami pergi”
Erita kaget mendengar ancaman itu. Ia hanya seorang dokter lulusan suatu universitas negeri di Bandung atas beasiswa pemerintah Papua dan sekarang bekerja menjadi dosen di tempat yang sama. Tapi kasus apa yang membuat Erita sampai harus berurusan dengan orang-orang BIN dan ancaman seperti itu? Erita akhirnya hanya bisa mengangguk dan mengikuti kedua pria itu untuk berbicara di dalam sebuah mobil APV hitam.
setelah sampai di mobil yang dimaksud, Erita duduk di jok tengah dengan diapit dua pria tersebut. Supir yang berpenampilan seperti kedua pria itu pun langsung menyetir mobilnya. Erita semakin takut.
“jadi begini, nona Erita. Menurut sumber dari departemen pertahanan RI, Indonesia akan diserang dengan bom detonasi yang sebelumnya sudah ditanam di dalam laut dan danau-danau Indonesia. Ada beberapa lokasi tanah di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi juga yang diduga sudah ditanam bom mematikan itu. Belum jelas siapa pelakunya, pastinya kalaupun itu semua terjadi, semuanya hanya akan terlihat seperti bencana alam dahsyat yang menghapus keseluruhan kehidupan di negara ini. Seluruh dunia mungkin akan berduka, tapi tidak akan ada yang tahu bahwa keseluruhan bencana alam itu memang disengaja dan bukan suatu pertanda alam yang wajar. Masih ada kemungkinan untuk selamat, tapi tidak ada jaminan untuk itu. Karena itu, pemerintah segera menyusun strategi untuk membawa pergi warga-warga terbaiknya ke suatu tempat aman di negara tetangga. Setelah bencana buatan itu terjadi, kita akan datang kembali ke Indonesia dan menyelamatkan segalanya yang tersisa, kemudian membangun lagi Indonesia dari nol. Setiap orang terpilih boleh membawa orang-orang yang punya ikatan keluarga terdekat dengannya.”
Erita tercengang mendengar berita itu. Ia pikir segala yang ia dengar itu hanya akan terjadi dalam film. Namun ini kenyataan, ini benar-benar terjadi dan Erita ada di dalam cerita ini.
“Lalu… kenapa saya, Pak?” Tanya Erita dengan suara bergetar karena takut
“setiap warga yang kami jemput, dipilih dengan alasan spesifik dari gen, jasa, dan potensinya bagi Indonesia. Tapi mohon maaf, kami dilarang membicarakan hal tersebut dengan siapapun termasuk orang-orang yang kami jemput”
“tapi bapak sepertinya salah orang. Saya bukan siapa-siapa.”
“kami hanya menjalankan prosedur”
“kalau pemerintah memang menginginkan seseorang yang terbaik, saya kenal seseorang dengan otak terbaik yang harus dilindungi. Namanya Adrian, dia lulusan terbaik dari statistika MIT dan sekarang sedang bekerja sebagai dosen di STIS. Dia jauh lebih berharga bagi Indonesia. Apakah dia dijemput juga?”
pria yang mendampingi agen BIN yang sejak tadi berbicara pada Erita pun mengambil PDA dari kantong jok di depannya dan menyodorkan monitornya pada Erita.
“silahkan masukkan nama lengkap dan data diri beliau di sini untuk mengetahui apakah beliau ada dalam daftar atau tidak.” Seru pria berusia 25 tahunan itu.
Erita memasukkan nama saingannya selama masa sekolah itu di sana : Adrian Chandra
Dan nama tersebut tidak terdeteksi
Erita kaget, namun ia menyembunyikan perasaannya tersebut. Ia tidak mengerti mengapa saingan sekaligus sahabat terbaiknya itu tidak termasuk dalam daftar warga terbaik yang diselamatkan.
“pak, apakah tiket keselamatan saya bisa ditukar untuk orang lain?”
“bisa, tapi nona harus kami bawa dulu ke sana baru pemerintah bisa menentukan pertukaran”
“apa tidak bisa sekarang saja, Pak?”
“maaf nona, ini perintah bagi kami dan tidak bisa dibatalkan”
Erita hanya menghela nafas dan menatap lurus ke depan. Tidak mungkin saingan terbaiknya itu tidak terdeteksi oleh pemerintah sebagai warga terbaik. Atau Adrian pernah bekerja untuk pemerintah asing? Atau justru sudah menjadi warga negara lain? Erita sendiri sudah lama tidak mendengar kabar dari Adrian.
Kini, Erita memikirkan cara lain untuk menyelamatkan lebih banyak orang. Erita boleh membawa keluarga intinya, tapi Erita sudah tidak berkomunikasi lagi dengan keluarganya sejak dia masuk islam mengikuti agama neneknya. Namun ia teringat pada adiknya, Vionna, yang juga baru masuk islam beberapa bulan lalu atas ajakannya.
“pak, bagaimana dengan keluarga saya? Bagaimana cara membawa mereka ke sana bersama saya?”
“kami sudah membawa adik dan nenek nona ke tempat yang aman”
Erita menatap pria yang dari tadi berbicara dengannya itu dengan tak percaya. Dari mana dia tahu kalau yang akan Erita bawa adalah nenek dan adiknya yang sama-sama islam? Erita menghapus pertanyaan itu.. dia tidak mau lagi bertanya apa-apa lagi. Ia sekarang kembali memikirkan bagaimana menyelamatkan Adrian.
Apakah Erita perlu menikahi Adrian untuk bisa membawanya ke tempat aman itu? Tapi itu ide yang gila.. Adrian sudah menikah dan memang tidak pernah ada perasaan tertentu antara Erita dan Adrian. Erita tidak mau berkorban sejauh dan senaif itu. “Pasti ada jalan keluar lain..” tegunnya dalam hati. Erita berpikir keras dan cukup lama sampai ia tertidur di dalam mobil
Entah sudah berapa lama Erita tertidur, ia tersadar ketika ada seorang polwan yang menepuk pundaknya dan membangunkannya
“sudah sampai, mbak..” kata polwan itu dengan tegas namun manis dan berhias senyuman
“oh, iya.. maaf saya tertidur sepanjang perjalanan” kata Erita sembari melirik ke kiri dan kanan. Suhunya terasa panas dan mengucurkan keringat Erita seketika. Ia mengelap keringat di dahinya dengan ujung jilbabnya. Ini seperti bandara pada umunya, tapi tanpa ruang tiket dan ruang tunggu, hanya lapangan terbang dengan sebuah pesawat sipil jumbo.
“silahkan naik ke pesawat anda, ini tiketnya dan nomor tempat duduknya. Semua barang mbak yang kami anggap penting sudah dikemas dan dibawa dalam pesawat terpisah”
“ini di mana, mbak? Jakarta?”
“mohon maaf kami tidak boleh membicarakannya”
Erita menghela nafas dan langsung turun dari mobil menuju pesawatnya diiringi ketiga agen BIN yang menjemputnya dari kampus. Suhu yang begitu panas dan matahari yang terik membuat Erita harus memicingkan mata serta mengelap dahinya dengan ujung jilbab atau ujung manset tangannya beberapa kali sejak turun dari mobil hingga masuk ke pesawat.
Erita tidak terlalu ingat sudah berapa lama ia tertidur. Belum pernah ia merasa sekantuk ini. Ia hanya ingat ia langsung tertidur pulas setelah diberikan minuman dan makanan ringan oleh pramugari yang bertugas. Tapi sepertinya memang semua penumpang langsung tertidur pulas setelah diberi penganan ringan itu. Mungkin ini trik dari pemerintah juga agar tidak ada penumpang yang tahu akan dibawa ke mana. Erita terbangun ketika seornag pramugari berkulit kuning langsat dengan mata berkarakter halus membangunkannya. Erita memperhatikan pramugari itu, rambutnya berwarna hitam lurus digelung ke atas dan tulang-tulang tubuhnya kecil, bibir dan alisnya juga tipis. Khas orang sunda. Nenek Erita juga orang sunda, dan keberadaan pramugari itu mengingatkan Erita pada neneknya. Ia menengok ke seluruh arah namun sulit menemukan nenek dan adiknya di tengah banyaknya penumpang di sini. Erita serahkan semuanya pada Alloh. Sang Maha Penyayang pasti melindungi mualaf taat seperti nenek dan adiknya. Erita harus percaya itu..
Sepuluh menit kemudian, semua penumpang turun dan diregistrasi satu per satu di sebuah meja panjang di depan sebuah gerbang baja yang besar. Gerbang itu terbuka namun dijaga ketat beberapa tentara bersenapan. Yang sudah menyelesaikan registrasi bisa langsung masuk ke dalam gerbang baja itu. Selintas erita melihat ada berbagai gedung di balik gerbang baja yang seperti benteng itu. Erita pun teringat lagi pada Adrian. Namun dengan keikutsertaan Vionna dan neneknya, maka jika Erita menukar tiketnya untuk Adrian, ia akan menghanguskan kesempatan Vionna dan neneknya juga untuk selamat. Erita masih berpikir keras selama ia melewati registrasi di meja panjang itu.
Entah Erita sedang ada di mana, para petugasnya ternyata ada yang bukan orang Indonesia. Mereka bermata sipit dan bicara dalam bahasa yang Erita tidak mengerti. Erita memang menguasai banyak bahasa, namun ia tidak menguasai bahasa-bahasa benua asia. Di sinilah Erita tersadar, sekaya apapun negeri seberang, tetap pada negeri tetangga juga kita akan meminta tolong di saat sulit. Erita menyesal mengapa ia tidak pernah belajar bahasa lain di Asia Timur ataupun Asia Tenggara.
Segera setelah menyelesaikan registrasinya, Erita masuk ke dalam gerbang baja dan menemukan sebuah kota yang mirip sekali dengan Jakarta dengan berbagai fasilitasnya. Bedanya, di sini tidak ada polusi, jeuh lebih kecil, tidak kumuh, dan udaranya jauh lebih ramah karena banyak pepohonan yang menaungi.
Erita segera menuju ke apartemen yang disediakan untuknya dengan menaiki sepeda yang disediakan pemerintah bagi setiap orang yang dibawa ke sana. Setelah Erita sampai dan memarkir sepedanya di dalam garasi bersama, ia masuk ke dalam kamarnya di lantai 3. Di dalam kamar itu barang-barang miliknya, adiknya dan neneknya sudah ada di dalam. Adik dan neneknya terlihat sedang tertidur di kasur. Mungkin mereka masih merasakan efek makanan ringan di pesawat tadi.
Erita menyimpan tasnya, lalu mandi, sholat dan berganti pakaian. Kali ini ia memakai gamis selutut berwarna hijau tua dengan celana lebar di baliknya dan pashmina sewarna gamis itu di kepalanya. Erita tidak membangunkan nenek dan adiknya terlebih dahulu, ia ingin tahu bisa menemui siapa lagi yang dia kenal di negeri baru ini. Selagi Erita berjalan-jalan ke masjid, ia berpapasan dengan Agung yang merupakan kakak kelasnya semasa SMA, bersama Awan yang pernah menjadi teman terdekatnya semasa SMA namun setelah lulkus hanya bisa berkontak melalui SMS karena kesibukan masing-masing. Entah ini ide dari mana, Erita segera menyapa dan bertanya hal yang tidak terduga pada mereka.
“assalamualaikum, kalian ada di sini juga?”
“waalaikumsalam. iya, Alhamdulillah.. udah ketemu siapa aja, Er?” jawab Awan
“waalaikumsalam. Kamu Erita? Sekarang kamu islam?” Tanya Agung agak kaget
“ehehe, iya, kak. Saya islam sejak tahun lalu.” Tutur Erita dengan senyum merekah
“Alhamdulillah, selamat ya..” agung tersenyum lebar mendengarnya
“udah ketemu siapa aja, Er?” Awan mengulangi pertanyaannya
“Awan, kamu tahu seseorang yang lagi mencari istri di sini ga?” Tanya Erita tanpa menggubris pertanyaan Awan
“eh sebentar-sebentar.. kamu baru dating udah nyari suami? Buat apa, Er? Kamu bahkan belum kenal seperempat orang yang ada di sini”
“aku mau menyelamatkan Adrian, Wan”
“sebentar, jelasin dulu masalahnya apa dan kenapa jadi berhubungan dengan Adrian? Ini Adrian yang mana? Adrian saingan kamu semasa SMA dan udah bikin kamu jadi muallaf itu?”
“iya, Wan. Adrian ga masuk daftar warga terbaik yang diselamatkan tapi aku mau dia selamat. Tapi aku juga ga bisa mengganti tiket aku buat Adrian karena nanti Vionna dan nenekku ga akan bisa selamat di sini kalau aku ga ada di sini, karena mereka di sini atas nama aku. Solusi yang terpikir di kepalaku, aku menikah dengan salah satu orang di sini dan otomatis aku aman walaupun tanpa tiket. Jadi aku bisa minta ke pemerintah untuk bawa satu orang lagi ke sini. Bagaimanapun juga Adrian yang mengenalkan aku pada islam. Dan dia bisa mengajak banyak orang lainnya di sini untuk masuk Islam.”
“kamu pikir segampang itu nyari orang yang mau nikah di saat seperti ini?”
“maaf menyela, kalian berdua baru tiba di sini hari ini ya? Saya sudah seminggu di sini” kata Agung
“kak Agung punya solusi untuk masalah saya?” Tanya Erita
“Gini, Er, Wan, ada beberapa pria yang mencari istri di sini. Sejak sebelum berangkat pun beberapa orang ini memang sedang mencari istri. Kalau kamu memang cocok, saya akan bantu jodohkan dengan junior saya di kampus yang memang mencari istri. Dia ada di sini karena keluarganya memegang beberapa saham penting milik pemerintah sementara semuanya sudah terhabisi oleh tsunami Aceh kecuali dia”
“boleh, kak.. saya mau coba kenal dia dulu. Semoga cocok. Kalau boleh tahu, ada berapa nama lain selain dia, kak?” Tanya Erita
“saya punya lima nama, coba kamu minta petunjuk dulu lewat sholat. Yang saya kenal betul hanya satu orang, sisanya saya baru kenal selama seminggu ini. Sudah bisa sholat istihkoroh?”
“insya Alloh sudah bisa, kak”
“Ini lima nama tersebut, kamu bawa pulang dulu saja. Besok pagi kita bertemu lagi di sini, bagaimana?”
“saya usahakan, kak”
Erita pulang kembali ke apartemennya, bercengkrama dengan keluarganya, lalu memulai istikhorohnya di malam itu juga.
Paginya, Erita menemui Agung lagi di pelataran masjid yang sama
“bagaimana petunjuknya, Erita?” Tanya Agung
“saya masih belum dapat petunjuknya, Kak”
“hmm.. salah satu dari lima nama yang saya berikan kemarin itu ada yang mau menemui kamu hari ini. Kamu mau bertemu?”
“boleh. Namanya siapa?”
“Fakhrie, Fakhrie Mustafa Karim. Saya baru kenal dia di sini lima hari lalu. Dia kepala analis gizi di RS.DR.Soetomo. Semoga ada jalan terbaik buat kalian” jawab Agung sembari tersenyum
“kapan kami bisa bertemu, kak?”
“sekarang saja, dia sudah ada di taman belakang masjid. Ayo ikut saya.” Ajak Agung
Di taman belakang masjid, ada seorang pria yang terlihat berusia sebaya dengannya sedang duduk sambil menunduk. Ia berkulit kuning, berambut hitam lurus, dan bermata agak sipit dengan baju koko putih sedang duduk di bangku samping kolam. Agung mengajak Erita menghampirinya dan mereka berkenalan
“assalamualaikum, saya Erita”
“waalaikumsalam, saya Fakhrie”
Selanjutnya mereka bertiga mengobrol mengenai banyak hal dengan akrab. Erita bisa merasakan kecocokan dengan Fakhrie di sana walaupun ternyata Fakhrie lebih muda dua tahun darinya. Fakhrie sendiri tidak keberatan dengan perbedaan usia mereka. Setelah berbagai obrolan terlewati, Agung pun menanyakan kesediaan Erita untuk menikahi Fakhrie dan Erita bersedia.
Hanya selang dua menit setelah itu, terdengar bunyi ledakan yang sangat keras dari arah apartemen Erita diiringi tembakan-tembakan dari udara. Agung segera membawa erita dan Fakhrie masuk ke dalam masjid. Ternyata sudah banyak orang yang berlindung di dalam masjid itu juga. Erita menangis sejadinya sesampainya mereka di dalam masjid, memikirkan nasib nenek dan adiknya.
“Kak ita..!” seseorang memanggil Erita.
“Nana..!” ternyata Vionna yang memanggil Erita, ia menggandeng neneknya dan memeluk Erita.
“Nenek dan Nana tahu darimana aku ada di sini?”
“kita ga tau, Ita.. setengah jam lalu tiba-tiba ada tentara yang meminta kita berkemas-kemas dan membawa kita ke sini untuk berlindung” jawab neneknya
“memangnya ada apa ini? Bukannya kita ada di tempat aman?” Tanya Erita setengah menangis
“Erita, nenek, adiknya Erita, sekarang semua duduk dulu yang tenang. Saya coba cari tahu ke intel yang ada. Kalian akan ditemani Fakhrie di sini.” Kata Agung
Mereka berempat pun duduk berlindung di dalam masjid beserta banyak warga lainnya sementara desing-desing peluru masih bersahut-sahutan di luar sana. Satu kantor pemerintah pun diledakkan di sebelah barat laut masjid itu.
Agung pun kembali dengan wajah panik. “Nenek, teman-teman, ternyata yang selama ini merencanakan genocide di Indonesia adalah bangsa Israel. Tapi ternyata ada kebocoran info dari pemerintah kita sehingga orang2 israel tahu bahwa para warga terbaik di Indonesia dibawa semua ke tempat ini. Mereka pun membatalkan misinya merekayasa bencana alam di Indonesia kemudian merencanakan penyerangan ke pulau terpencil di pasifik utara ini. Mereka berpikir tidak ada gunanya menghancurkan Indonesia kalau orang-orang terbaiknya masih hidup dan akan kembali lagi membangun Indonesia. Justru Indonesia bisa lebih maju lagi setelah dihancurkan. Dengan begitu, strategi diubah menjadi menyerang kita semua yang jumlahnya hanya seperseratus jumlah penduduk keseluruhan Indonesia. Karena kalau kita semua yang disingkirkan, mereka akan bisa mengambil Indonesia sekaligus mendapat nilai keuntungan berupa adanya SDM dari 99/100 jumlah penduduk Indonesia yang masih ada di sana dan tidak tahu apa-apa. Indonesia sudah sangat indah dengan berbagai sumber daya alam dan manusianya yang sedang ditinggalkan para pemilik sejatinya ke tempat aman ini. Kalau para pemilik sejatinya disingkirkan, SDA dan SDM Indonesia akan sangat mudah dimiliki dan digunakan bagi kepentingan Israel. Saat ini Indonesia ibarat rumah yang hanya ditinggali anak-anak yatim dan bisa diambil alih dengan mudah oleh perampok dan digunakan sesuka hati.”
“astagfirulloh..” Vionna dan Fakhrie beristigfar, sementara Erita hanya bisa istigfar dalam hati sambil menangis memeluk neneknya yang terlihat begitu tegar.
“masjid ini dibangun dengan arsitektur dan bahan-bahan yang persis masjid baiturrahman Aceh. Insya Alloh masjid ini cukup kuat melindungi kita semua. Para pejabat pemerintah dan orang-orang yang ada dalam daftar utama sudah dilarikan ke tempat rahasia lain. Sekarang ada baiknya kita semua berdoa untuk perjuangan para tentara terbaik Indonesia di luar sana” lanjut Agung dengan bijak
Lalu terdengar ledakan lagi di taman belakang masjid, ada sebuah helicopter bersimbol bintang david meledak dan hancur berkeping-keping di sana. Baling-balingnya mental dan menghantam kubah masjid yang terbuat dari baja anti karat lalu tertancap di sana. Suasana semakin mencekam sementara desingan peluru dan bunyi granat masih belum berhenti di luar sana.
Erita masih menangis di pelukan neneknya hingga separuh kerudung neneknya bassah oleh airmata Erita. sementara Fakhrie sedang menuliskan beberapa doa untuk dibaca oleh Vionna. “kak ita, tenang ya.. kita banyak berdoa aja sama nenek. Kak Fakhrie baru saja mengajarkan Nana beberapa doa”. Erita berusaha menelan semua tangisannya dan mulai berdoa bersama nenek dan adiknya. Vionna tidak pernah secerdas, seberani maupun sekreatif Erita dalam segala hal. Namun Vionna selalu bisa bersikap tenang dalam keadaan tertekan. Warna hijau kerudungnya menambah aura ketenangan Vionna saat berdoa di tengah perang ini.
Erita berpikir, jika ini terakhir kalinya Erita masih bsia merasakan hidup, tentunya ia akan melepaskan hidupnya dengan tenang di sisi kedua anggota keluarganya yang sama-sama muslim.
“Erita..” panggil Fakhrie
“iya, ada apa?”
“kamu harus tetap tersenyum. Aku yakin kamu akan selalu tersenyum. Dan aku akan berusaha untuk tersenyum juga sampai dijemput nanti”
“maksudnya?”
“bukan apa-apa” kata Fakhrie sambil tersenyum
Erita melanjutkan doa-doanya
Terdengar lagi satu ledakan besar hingga hamper mematikan saraf telinga.
Masjid terhantam dari arah kubahnya oleh pesawat jet Israel yang jatuh dan kemudian meledak…